Nominator lain yang dikalahkan Cak Mahfud pun tidak tanggung-tangung, Barrack Husein Obama dan Sri Mulyani Indrawati. Dua personal yang cukup punya nama di dunia Internasional. Sebagai Presiden USA, Obama yang pernah menghabiskan masa kecilnya di Indonesia, jelas dia paling saya unggulkan awalnya. Sri Mulyani, ini orang masuk kategori perempuan hebat baik di dalam maupun luar negeri. Selepas jadi menteri dalam kabinet SBY, dia langsung memimpin lembaga finansial internasional yang cukup beken, Bank Dunia. Eh, ternyata Cak Mahfud yg terpilih!
Saat memberi sepatah dua patah kata usai menerima award, Mahfud bilang: "Saya mendapat kritik dari beberapa teman, agar jangan sering menjadi berita karena hakim lebih baik diam. Tapi saya pikir kita harus menyadarkan masyarakat. Saya juga katakan, ya enggak bisa begitu, di negara kita ini rakyat harus dibangun kesadarannya tentang hak konstitusionalnya".
Mahfud MD Saat Menerima Seputar Indonesia Award Dari Hari Tanu (CEO MNC Group)
"Saya juga harus berteriak menyadarkan bahwa pejabat pemerintah itu tugasnya harus melindungi hak-hak konstitusionil warga negara, menegakkan keadilan negara. Toh yang saya lakukan tidak terlalu salah karena dapat award dari RCTI ini. Ini untuk semua para penegak konstitusi", ujar Mahfud MD di atas panggung.
Dengan posisi yang dijabatnya sekarang sebagai Ketua Mahkamah Konstitusi, hampir semua komentar yang berkaitan dengan persoalan hukum, tata negara hingga masalah sosial maupun politik, memang membuat Mahfud MD sangat berpotensi menjadi 'news maker'. Apalagi kalau komentar dia berseberangan dengan pejabat tinggi publik. Maka para jurnalis pun akan dengan senang hati menulisnya atau mewawancarai Mahfud MD, oreng Madhureh cak! Berikut profil singkatnya.
Asal Muasal Inisial MD
Mahfud nama lengkapnya Mohammad Mahfud dilahirkan pada 13 Mei 1957 di Omben, Sampang Madura, dari pasangan Mahmodin dan Suti Khadidjah. Mahfud adalah anak keempat dari tujuh bersaudara, Tiga kakaknya antara lain Dhaifah, Maihasanah dan Zahratun. Sementara ketiga adiknya bernama Siti Hunainah, Achmad Subkhi dan Siti Marwiyah.
Mahmodin, ayahanda Mahfud berasal Desa Plakpak, Kecamatan Pangantenan - Pamekasan Madura ini hanyalah seorang pegawai rendahan di kantor Kecamatan Omben, Kabupaten Sampang. Nah, inisial MD di belakang nama Mahfud adalah singkatan dari nama ayahnya, Mahmodin, dan bukan merupakan gelar akademik seperti sebagian orang menganggapnya.
Sebenarnya sampai lulus SD tidak ada inisial MD di belakang nama Mahfud. Baru ketika ia memasuki sekolah lanjutan pertama, tepatnya masuk ke Pendidikan Guru Agama (PGA), tambahan nama itu bermula. Saat di kelas I sekolah tersebut ada tiga murid yang bernama Mohammad Mahfud. Hal itu membuat wali kelasnya meminta agar di belakang setiap nama Mahfud diberi tanda A, B, dan C. Namun karena kode tersebut dirasa seperti nomer becak, wali kelas lalu memutuskan untuk memasang nama ayahnya masing-masing dibelakang nama Mahfud.
Jadilah Mahfud memakai nama Mahfud Mahmodin sedangkan teman sekelasnya yang lain bernama Mahfud Musyaffa’ dan Mahfud Madani. Dalam perjalanannya, Mahfud merasa bahwa rangkaian nama Mahfud Mahmodin terdengar kurang keren sehingga Mahmodin disingkatnya menjadi MD. Tambahan nama inisial itu semula hanya dipakai di kelas, tetapi pada waktu penulisan ijazah kelulusan SMP (PGA), inisial itu lupa dicoret sehingga terbawa terus sampai ijazah SMA, Perguruan Tinggi, dan Guru Besar. Hal itu disebabkan karena nama pada ijazah di setiap tingkat dibuat berdasarkan nama pada ijazah sebelumnya. Berangkat dari situlah nama resmi Mahfud menjadi Moh. Mahfud MD. Lucu ya.....tapi mantap Cak Mahfud! Dua jempol dari saya.
Pendidikan Mahfud MD
Sejak kecil Mahfud dididik berdasarkan pemahaman religi Islam yang kuat, sebagaimana orang Madura pada umumnya, yakni selain pendidikan formal di sekolah dasar di pagi hari, siangnya harus sekolah madrasah diniyah, lalu malamnya ngaji di surau (Nah, yang ini beneran mirip waktu saya waktu kecil).
Setamat dari SD, Mahfud dikirim belajar ke Sekolah Pendidikan Guru Agama (PGA) Negeri di Pamekasan. Pada masa itu, ada kebanggaan tersendiri bagi orang Madura kalau anaknya bisa menjadi guru ngaji, ustadz, kyai atau guru agama. Lulus dari PGA, Mahfud terpilih mengikuti Pendidikan Hakim Islam Negeri (PHIN), sebuah sekolah kejuruan unggulan milik Departemen Agama yang terletak di Yogyakarta. Sekolah ini merekrut luluan terbaik dari PGA dan MTs seluruh Indonesia.
Begitu tamat dari PHIN pada 1978, rencananya hendak melanjutkan sekolah ke PTIQ (Perguruan Tinggi Ilmu al-Qur'an) di Mesir. Namun, sambil menunggu persetujuan beasiswa, Mahfud coba-coba kuliah di Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia (UII - Yogyakarta) dan Fakultas Sastra (Jurusan Sastra Arab) UGM. Eh, dia terlanjur betah di kampus ini. Rupanya Mahfud merasa jiwanya lebih cocok di dunia hukum. Maka ditinggalkan-lah bangku kuliah di Fakultas Sastra UGM dan berkonsentrasi di Fak Hukum UII.
Meski harus membiayai sendiri kuliahnya, dia pun mampu lulus sebagai sarjana hukum UII pada tahun 1983. Nah, sekian waktu menggeluti ilmu dan dunia hukum, Mahfud merasakan kekecewaan. Ia rupanya sadar bahwa peran dan posisi hukum relatif dan seringkali dikalahkan oleh keputusan-keputusan politik. Akibat intervensi politik ini pun segala perangkat hukum menjadi tumpul. Maklum, orde baru jaman itu cak!
Kesadaran inilah yang kemudian mendasari Mahfud ingin belajar ilmu politik.Maka tanpa ragu, begitu peluang menempuh S-2 ilmu politik didapat, Mahfud pun mengambil program pasca sarjana tersebut tahun 1985 di UGM. Mahfud memang mendapat beasiswa penuh dari UII sebagai perguruan tinggi yang mensponsori studinya ini. Di tempat inilah, Mahfud cukup beruntung karena Mahfud menerima mata kuliah langsung dari dosen-dosen Ilmu Politik terkenal seperti Moeljarto Tjokrowinoto, Mochtar Mas’oed, Ichlasul Amal, Yahya Muhaimin, Amien Rais, dan lain-lain.
Selepas lulus dari Program S-2 Ilmu Politik, Mahfud kemudian mengikuti pendidikan Doktor (S-3) dalam Ilmu Hukum Tata Negara di Program Pasca Sarjana UGM sampai akhirnya lulus sebagai doktor (1993). Disertasi doktornya tentang “Politik Hukum” cukup fenomenal dan menjadi bahan bacaan pokok di program pascasarjana bidang ketatanegaraan pada berbagai perguruan tinggi karena pendekatannya yang mengkombinasikan dua bidang ilmu yaitu ilmu hukum dan ilmu politik.
Mahfud sempat juga menjabat sebagai Direktur Pascasarjana UII pada 1998-2001. Dalam rentang waktu yang sama yakni 1998-1999 Mahfud juga menjabat sebagai Asesor pada Badan Akreditasi Nasional Perguruan Tinggi. Puncaknya, Mahfud MD dikukuhkan sebagai Guru Besar atau Profesor bidang Politik Hukum pada tahun 2000, dalam usia masih relatif muda yakni 40 tahun.
Pencapain itu diraih Mahfud saat usianya baru akan menginjak 41 tahun. Tidak heran jika pada waktu itu, Mahfud tergolong sebagai Guru Besar termuda di zamannya. Satu nama yang dapat disejajarkan adalah Yusril Ihza Mahendra, yang juga meraih gelar Guru Besar pada usia muda.
Mahfud pun tercatat sebagai dosen tetap Fakultas Hukum UII pertama yang meraih derajat Doktor pada tahun 1993. Dia meloncat mendahului bekas dosen dan senior-seniornya di UII, bahkan tidak sedikit dari bekas dosen dan senior-seniornya yang kemudian menjadi mahasiswa atau dibimbingnya dalam menempuh pendidikan pascasarjana.
Organisasi Kemahasiswaan Kala di Bangku Kuliah
Sejak masih di bangku belajar, Mahfud sepertinya mulai tertarik dengan hingar bingar kampanye pemilu kala orde baru berkuasa. Nah, ini kemudian ditumpahkan setelah ia masuk perguruang tinggi. Mahfud lalu aktif di organisasi ekstra universiter Himpunan Mahasiswa Islam (HMI). Aktivitas politik praktis ala mahasiswa di kampus pun menjadi salah satu bagian keseharian dia. Hal ini dibuktikan karena selain di HMI, ia juga malang melintang di berbagai organisasi kemahasiswaan intra universiter seperti Senat Mahasiswa, Badan Perwakilan Mahasiswa, termasuk di lembaga press kampus. Atribut sebagai aktivis mahasiswa ini, tentu memungkinkan dia melampiaskan energi politik praktisnya kala itu.
Mahfud juga tercatat pernah menjadi pimpinan di majalah Mahasiswa Keadilan (tingkat Fakultas hukum - UII), serta memimpin Majalah Mahasiswa Muhibbah (tingkat universitas). Karena begitu kritis terhadap pemerintah Orde Baru, Majalah Muhibbah yang pernah dipimpinnya pernah dibreidel sampai dua kali. Pertama dibreidel oleh Pangkopkamtib Soedomo (tahun 1978) dan terakhir dibreidel oleh Menteri Penerangan Ali Moertopo pada tahun 1983.
Keluarga Yang Berbahagia
Mahfud MD menikah dengan Zaizatun Nihayati (dipanggil Yatie), gadis teman kuliahnya di Fakultas Hukum UII Yogyakarta, pada tahun 1982. Yatie adalah perempuan kelahiran Jember, 18 November 1959 anak kedua dari delapan bersaudara pasangan Sya’roni dan Shofiyah. Zaizatun Nihayati berijazah Sarjana Hukum dan pernah bekerja sebagai guru SMU. Tetapi ketika Mahfud diangkat menjadi menteri dan harus berpindah ke Jakarta maka pekerjaannya sebagai guru ditinggalkan, sampai sekarang.
Mahfud dan Yatie bertemu pertama kali pada 1978 saat keduanya sama-sama aktif di Himpunan Mahasiswa Islam (HMI). Lah, cinlok alias cinta lokasi cak! Mirip artis aja. Tenang cak Mahfud, kaule gun aghejek ta' iyeh! (saya cuma bercanda!)
Sejak 1979, keduanya mulai dekat dan akhirnya berpacaran. Hubungan keduanya bertahan lama, sehingga pada 2 Oktober 1982, Mahfud dan Yatie resmi menikah di Semboro, Tanggul, Jember. Dari pernikahan itu, Mahfud dan Yatie dikaruniai tiga orang anak. Pertama adalah Mohammad Ikhwan Zein, laki-laki kelahiran 15 Maret 1984, anak kedua adalah Vina Amalia, gadis yang lahir 15 juli 1989, dan yang ketiga, adalah Royhan Akbar, lahir 7 Februari 1991.
Semoga terus bisa mengemban amanah rakyat menegakkan panji hukum di bumi nusantara ini cak!
Salam dari Madura! (Mad Topek)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar