Bumi Madura – Sebenarnya sudah saya rencanakan mau nulis dan hendak posting tulisan ini dua hari yang lalu tepat tanggal 09 Pebruari 2012 kemarin di blog saya, Republik Madura. Karena tepat tanggal tersebut, semua insan pers se-Indonesia memperingati Hari Pers Nasional (HPN) ke-66. Namun banyaknya kesibukan termasuk rutinitas mengirim berita, ya akhirnya tertunda hari ini.
Tulisan ini memang sengaja saya buat sebagai salah satu cara memperingati HPN ke 66 tahun ini.
Saya masih ingat, tepat tanggal 16 September 2004, saya bergabung dengan RCTI Biro Jawa Timur. Artinya, sudah 7,5 tahun lebih saya menjadi ‘buruh’ di lapangan sebagai The News Hunter, pemburu berita. Sejak tanggal tersebut hingga sekarang, saya menjadi ‘supplier’ berita bagi MNC group untuk wilayah Bangkalan – Sampang, Madura.
Awal turun di lapangan, tidak ada catatan khusus yang bisa saya ceritakan. Karena semuanya hanya rutinitas mencari berita dan mengirimnya. Meski itu menjadi hal yang baru bagi kehidupan saya secara pribadi.
Catatan khusus dalam perjalanan karir jurnlistik saya baru terjadi bulan januari 2006 (saya lupa tanggalnya). Saat itu ada sebuah liputan menarik: tindakan sewenang-menang seorang oknum perangkat desa yang dengan seenaknya menjual asset/ perangkat belajar mengajar sebuah sekolah dasar negeri yang berada di desa nya. Warga setempat dan para guru di sekolah ini tidak bisa apa-apa alias tidak berani melawan sang aparat desa. Berita ini sebenarnya sudah ditulis sebuah harian lokal di Madura.
Karena menarik, saya ajak seorang teman beranama Munif. Dia wartawan stringer salah satu TV nasional untuk wilayah Bangkalan. Selain karena lokasinya lumayan jauh (lokasi tepatnya tidak usah saya sebutkan, demi keamanan bersama. Hehehe), juga karena memang ada kabar dari teman-teman wartawan lain bahwa situasi di desa yang bersangkutan sedang tidak kondusif.
Disamping karena berita tersebut sudah keluar di harian lokal, keluarga sang aparat desa terebut sedang di’target’ polisi karena terlibat dalam penyelewengan dana Bantuan Langsung Tunai (BLT). Jadi tentu sangat rawan melakukan peliputan di desa tersebut, apalagi isi berita liputannya akan langsung ‘menohok’ sang aparat desa.
Melihat kondisi ini, saya minta bantuan seorang teman. Sebut saja namanya Abdul. Si Abdul ini warga desa tersebut. Jadi dia paham betul apa yang harus dilakukan jika saat liputan ada masalah dengan sang aparat desa. Perlu jadi catatan, di Madura seorang petinggi apatur desa diistilah oleh teman-teman seperti ‘Raja Kecil’ karena dari saking berpengaruhnya jabatan tersebut. Untuk selanjutnya sang aparat desa saya tulis ‘Si Raja Kecil’.
Besoknya sekitar pukul 08.00 WIB kami bertiga berangkat. Saya, Munif dan si Abdul dengan naik sepeda motor. Sesampai di desa tersebut, sekitar 1 kilometer sebelum lokasi SD yang kami tuju, kami berhenti di sebuah gardu/ pos kamling. Dari dalam gardu muncul tiga orang teman dari si Abdul. Saya tidak kenal ketiganya. Kata si Abdul, mereka bertiga-lah yang akan mengawal kita saat melakukan peliputan. “Mereka bertiga orang blater (istilah untuk jagoan, bhs Madura) yang juga musuh di ‘Raja Kecil’,” terang si Abdul.
“Okelah kalau begitu”, jawab ku. Saya pun lebih tenang karena ada yang mengawal keberadaan kami di desa ini. Lalu kami melanjutkan menuju lokasi. Untuk sampai di lokasi, kami melewati depan rumah si Raja Kecil yang jaraknya hanya sekitar 400 meter ke lokasi sekolah yang kami tuju.
Dari jalan raya desa yang beraspal mulus, kami belok ke kanan melewati jalan makadam (jalanan berbatu sekitar 100 meter) dan sampailah di sekolah tersebut (nama sekolah juga tidak usah saya sebutkan yaaa….). Para guru dan siswa di sekolah ini menyambut kami dengan hangat. Selain kedatangan kami untuk meliput kondisi mereka yang memprihatikan, juga biasalah, orang pasti senang masuk tivi bukan?
Kenapa memprihatinkan? Seperti saya tulis sebelumnya, perangkat/ perabotan belajar di sekolah ini dijual oleh si raja kecil. Ruangan kelas pun hanya ada tiga (termasuk ruangan guru/ kepala sekolah). Sebagian siswa pun belajar lesehan di bawah pohon depan sekolah termasuk belajar dengan cara lesehan di rumah-rumah warga setempat. Suasana inilah yang masuk dalam bidikan kamera saya.
Saat mengambil gambar, tidak ada insiden apapun. Saya dengan bebas dan nyantai ambil gambar semua momen. Apalagi para guru tidak keberatan. Meski tidak ada satu pun guru yang mau diwawancarai. Takut sama si raja kecil, katanya. Akhirnya wawancara saya minta ke salah satu dari tiga orang yang mengawal saya (kebetulan mereka adalah orang tua siswa di sekolah ini).
Meski saat ambil gambar relative lancar, hanya….saat mengambil gambar itulah saya sempat melihat ada sekelebat orang setengah berlari di antara rumah warga. Tapi saya tepis itu dan pura-pura tidak ada apa-apa.
Setelah selesai ambil gambar, saya, Munif dan si Abdul pamit pulang. Ketiga pengawal kami pun kami tinggal di sekolah tersebut. Munif yang menyetir motor ku. Saya membonceng. Sementara Abdul naik motor sendirian di belakang motor kami. Nah, saat keluar dari jalan makadam sekolah….ketika Munif belok kiri di jalanan aspal, dari arah depan (arah utara) muncul si raja kecil dengan menenteng celurit terhunus bersama dua orang pengawalnya dan menenteng celurit pula!
Abdul yang ada di belakang kami teriak, “Si raja kecil!”. Abdul langsung belok ke kanan dan tancap gas. Sementara kami yang sudah terlanjur belok kiri, menjadi panic! Munif lalu memutar sepeda motor ke arah kanan. Karena panic dan jalan aspal di desa ini tidak terlalu lebar, ban depan motor mengenai tanah berlumpur di bahu jalan (kemungkinan semalam hujan, jadi becek).
Ban motor kami yang terjebak lumpur membuat kami jatuh dari atas motor. Munif tertindih motor. Aku berusaha bangkit dengan kondisi sepatu ku penuh lumpur. Saya lihat dari arah utara si raja kecil bersama kedua pengawalnya berlari menghampiri kami dengan celurit diacungkan ke atas. Saat itu saya berteriak dengan bahasa Madura yang dalam bahasa Indonesia nya “Pak….pak…pak. Tunggu (maksudnya jgn asal marah)”.
Panik bercampur ketakutan. Saat itu saya hanya ingat MATI. Jika si raja kecil meminta kamera kami beserta kasetnya, akan saya berikan!!! Seperti judul tulisan ini: TIDAK ADA BERITA SEHARGA NYAWA! Sempat saya lihat si Abdul berhenti sekitar 500 meter dari posisi kami. Dia diam saja di atas motornya melihat kami. Sempat dalam hati saya mengumpatnya karena lari duluan padahal dia sebelumnya bilang, “saya yang bertanggung jawab kalau ada apa-apa”.
Dalam kondisi genting seperti inilah, dari arah barat (dari arah sekolah) muncul ketiga pengawal kami yang tadi kami tinggal di sekolah. Mungkin mereka bertiga melihat dan mendengar saat kami terjatuh. Saat si raja kecil dan kedua pengawalnya tinggal beberapa meter lagi ‘menghantam’ saya dan Munif, ketiga pengawal kami langsung berdiri menghadang rombongan si raja kecil.
Dengan lantang salah satu pengawal kami bilang “Ajiyah tang oreng. Marah la tattak mon Bengal (Mereka ini orang-orang saya. Silahkan tebas kalau berani)”. Ketiga pengawal kami bahkan serentak mencabut pisau panjang dari balik baju mereka. Mendengar teriakan tersebut, rombongan si raja kecil menghentikan langkahnya. Bahkan mereka menurunkan celurit mereka yang sebelumnya teracung ke atas.
Melihat situasi ini, tensi kepanikan saya dan Munif menurun. Lebih tenang. Munif yang terjepit motor pun lalu saya bantu berdiri.
Sementara ketiga pengawal kami dengan si raja kecil dan kedua pengawalnya terlibat cekcok mulut. Beberapa warga setempat saya lihat hanya berdiri mematung menyaksikan momen ini. Tengkar mulut kedua pihak berusaha diredam seorang perempuan (kata si Abdul, perempuan tersebut adalah istri si Raja Kecil.
Lalu salah satu pengawal kami bilang, “sudah mas. Sampeyan pulang aja. Ini urusan kami”. Lega hati saya. Lalu dengan munif, saya naik motor pelan ke arah selatan menghampiri si Abdul dan terus melaju ke arah selatan menuju kota Bangkalan. Kami melewati jalan akses Suramadu (saat itu jalan akses Suramadu belum selesai. Masih berupa makadam dan sebagian masih berdebu. Motor yang kami tumpangi melaju kencang. Si Abdul tertinggal di belakang kami.
Di jalanan ini lah saya sempat suruh Munif menghentikan motor. Munif Tanya kenapa? Saya jawab dengan senyum kecut “Sialan. Dengkul/ betis ku gemetaran gak mau berhenti”. Munif tertawa setengah ngakak. Saya memang orang Madura asli. Sejak kecil hingga cari nafkah hidup di Madura (kecuali waktu kuliah). Namun dikejar celurit terhunus, ini baru pertama kali! Mungkin inilah kenapa seharusnya jurnalis yang bertugas di daerah seharusnya memang asli daerah tersebut. Selain lebih mengenal medan dan karakter masyarakatnya, juga agar selalu siap mental ketika menghadapi kondisi seperti ini.
Setelah kami sampai di kota Bangkalan, kami langsung menuju pos 9 (istilah warung yang menjaidi tempat nongkrong para wartawan di Bangkalan). Saya dan Munif membersihkan lumpur yang mengotori celana dan sepatu kami. Ibu yang punya warung dan teman2 wartawan lain heran, ada apa? Kami tidak menjawab.
Selesai membersihkan lumpur, kami cerita pada teman2. Seorang teman wartawan bertanya dengan nada bercanda “kamu ambil gambarnya gak waktu insiden itu?”. Haaaargh….sialan! Saya jawab “boro-boro mau ambil gambar, wong kita aja sudah panic kok!”.
Lalu bersama teman2 wartawan lainnya, kami menghadap Kapolres Bangkalan, AKBP Erwin Rusmana. Mendengar cerita kami, Kapolres memberikan dua pilihan: Diselesaikan secara ‘adat’ (kekeluargan) atau diselesaikan secara hukum. Jika yang kedua dipilih, Kapolres berjanji akan langsung menciduk si raja kecil karena tindakannya sudah masuh ranah kriminal.
Namun kami (para wartawan) sepakat menyelesaikannya secara adat. Setelah keluar dari ruangan Kapolres, kami langsung berkoordinasi dengan para raja kecil desa lain dan tokoh – tokoh masyarakat setempat untuk menyelesaikan ini. Biar selesai sampai disini saja maksudnya. Tidak usah diperpanjang.
Setelah dari Polres, saya sempatkan memberitahukan insiden ini ke kantor ku, RCTI Biro Jatim. Kepada mas Iwan Manaf (produser), saya ceritakan semua. Mas Iwan bilang, siap mem-back up kalau ada apa-apa. Mas Iwan juga Tanya “terus beritanya (berita tentang sekolah, bukan berita tentang insiden) kamu tetap kirim atau tidak?”. Aku jawab “Tetap saya kirim mas. Ga apa-apa. Tapi gak usah tulis nama aparat desa nya”.
Dan memang akhirnya semua berakhir dengan baik. Bahkan si raja kecil yang mengejar kami dengan celurit, berkali-kali bertemu dengan ku pada beberapa momen. Pernah di suatu kesempatan aku bertemu dengan nya dan berbicara panjang lebar. Dia minta maaf atas kekeliruannya. Saya pun juga minta maaf karena sudah ‘lancang’ masuk ke wilayah (desa nya) si raja kecil.
Ya, ini hanya sekedar kisah nyata kecil dari kehidupan seorang jurnalis. Kita ketemu pada tulisan ku bagian kedua tentang Catatan Seorang Jurnalis. (Mad Topek)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar