Sebelum saya bercerita, ada yang perlu diketahui. Jurnalisme TV seperti yang saya jalani adalah bagaimana menyajikan gambar (visual) atau dengan kata lain visualisasi berita. Lain halnya dengan jurnalisme media cetak yang hanya memberitakan lewat tulisan meski sesekali harus ada fotonya. TV sangat memprioritaskan penyajian visual/ gambar saat memberitakan sesuatu. Maka menjadi keharusan, semakin bagus gambar dari suatu berita, maka akan semakin sempurnalah berita yang disajikan tersebut.
Wajar jika kemudian saya dan teman-teman jurnalis TV lainnya harus rela blusukan untuk mendapatkan gambar terbaik dari berita yang hendak kami kirim. Nah, saya hendak ikut penggrebekan judi sabung ayam hingga ke lokasi, ya karena hal tersebut.
Oke, saya mulai catatan kali ini. Saya lupa tanggalnya, yang pasti bulan juni 2009. Hari itu sudah siang sekitar jam 11.00 WIB. Saya belum dapat satu berita pun. Saya kemudian coba-coba datang ke Satreskrim Polres Bangkalan. Kali aja ada yang bisa jadi berita. Ngobrol sana-sini sama beberapa teman anggota buser reskrim. Kemudian salah satu dari mereka tanya dalam bahasa Madura, “pola noro’ah be’en Fik? (Mungkin kamu mau ikut Fik?)”.
(Keterangan foto: ini dia foto kenang-kenangan kami di kawasan perbukitan wilayah Bangkalan Utara. Kanan kiri kami itu hutan lebat. dan pastinya gelap gulita. Lampu penerangan hanya mengandalkan lampu mobil dan senter kecil yang sempat dibawa para dulur-dulur polisi iki.)
Setelah saya tanya balik mau kemana, mereka bilang mau ada penggrebekkan 303 ayam (angka 303 adalah pasal perjudian di KUHP). Okelah, aku ikut. Setelah ijin ke Kanit Opsnal Reskrim, akhirnya memang saya putuskan ikut meski saya belum tahu pasti dimana lokasinya. Setahu saya, lokasi sabung ayam di Bangkalan kalau gak di wilayah timur ya di wilayah Bangkalan utara.
Sekitar jam 12.00 WIB kami berangkat. Benar dugaan ku, ternyata memang ke wilayah Bangkalan Utara. Ada tiga mobil saat itu yang hendak meluncur ke lokasi. Satu mobil isi penuh teman2 Sat Intelkam, Satu mobil isi penuh anggota Sat Reskrim. Sementara Satu mobil lagi, yakni mobil Carry Pick Up hanya isi dua orang anggota Reskrim. Aku naik mobil kedua. Jadi dalam rombongan tiga mobil ini hanya saya yang jurnalis, selebihnya ya polisi semua.Mobil yang kami tumpangi terus meluncur ke utara.
Rombongan ini kemudian berhenti di sebuah warung makan. Sambil makan, para anggota polisi itu berembug cara masuk lokasi dan memetakan lokasi maupun kondisi lapangan. Saya tidak terlalu mendengarkannya. Saya kemudian mengobrol sambil ngopi dengan salah satu anggota reskrim (sebut saja namanya Abdul) di salah satu pojok warung (warung makannya lumayan besar dan luas).
“Hayo makan dulu mas”, ujar si Abdul. “Ah gak usah. Masih kenyang,” jawabku. “Hehehe awas loh di lokasi gak ada warung makan. Makanya kenyangin disini aja”, terang Abdul. Aku Cuma senyum aja dan tetap gak makan. Lagi males.
Usai makan dan siap, kami terus meluncur. Dari jalur jalan beraspal mulus, rombongan belok kanan melewati jalanan desa dengan jalan aspal rusak bahkan kemudian hanya berupa jalan berbatu (jalur/ jalan, dan lokasinya sekali lagi tidak saya sebutkan). Yang pasti, jalur yang kami lewati sebenarnya bukan jalur yang lazim. Hal ini dilakukan untuk menghindari perhatian warga. Kali ini saya naik mobil ketiga, carry pick up. Di mobil ini dinaiki tiga orang duduk di depan semua. Karena jalannya berbatu dan menanjak, mobil pick up yg saya tumpangi tertinggal jauh dengan dua mobil lainnya. Sementara cuaca yang sbelumnya cerah berubah menjadi hitam pekat. Lalu hujan deras pun turun!!!
Wuiiiih…….udah menanjak, jalan berbatu ini pun kini mulai licin. Alhasil, mobil pick up yang kami tumpangi kesulitan. Bahkan sesekali terjebak jalan becek. Karena tidak kuat menanjak, saya dan seorang teman Reskrim (dia tinggi besar orangnya dan masih muda) nekad turun dari dalam mobil. Kami berdua mendorong mobil pick up kami dibawah guyuran hujan deras. Sementara seorang teman Reskrim tetap di dalam memegang setir. Kamera dan jaket saya taruh di dalam biar gak kehujanan.
Meski basah kuyup, akhirnya mobil bisa jalan lagi. Karena basah, kami berdua naik di belakang (bak mobil pick up). Bahkan bertelanjang dada. Hujan terus turun dengan deras. Baru beberapa meter, mobil tidak kuat lagi naik. Kami berdua pun turun mendorong lagi. Begitulah terjadi berkali-kali hingga akhirnya hujan berhenti.
Sepanjang perjalanan, kami bertemu warga-warga setempat. Mereka mengira kami juga mau datang untuk ikutan berjudi sabung ayam. Tapi itu yang memang kami inginkan agar tidak ketahuan. Bahkan dua pistol revolver milik kedua teman reskrim ku disembunyikan di balik jok agar tidak ketahuan warga.
Mobil kami kemudian berhenti di dekat sungai kecil menuju lokasi. Kenapa? Haaaaa…..ternyata jembatan kecil di atas sungai tersebut sudah dibongkar!!! Papan jembatan sudah hilang! Dari hasil pemeriksaan, kami bertiga berkesimpulan bahwa papan-papan jembatan tersebut baru saja dibongkar. Kemungkinan dibongkar setelah dua mobil rombongan teman kami melewatinya. Karena kami tidak melihat kedua mobil tersebut. Sementara di samping kanan-kiri kami, berupa hutan lebat.
Siapa yang membongkar? Menurut kedua teman reskrim ku tersebut, papan-papan jembatan ini dibongkar oleh warga agar mobil polisi lainnya tidak bisa lewat menuju lokasi sabung ayam. Dan ini biasa terjadi. Dari tempat jembatan ini, lokasi sabung ayam yang kami tuju masih 5 hingga 10 km lagi diatas bukit. Itu pun jalan nya pun berbatu. Akhirnya kami putuskan menunggui mobil kami.
Sekitar setengah jam kemudian, rombongan polisi lain datang dari Polres Bangkalan. Mereka terdiri atas 3 truk dan 2 mobil patrol polisi yang berisi penuh anggota. Rombongan ini merupakan back up group saat melakukan penggrebekan yang memang sengaja diberangkatkan belakangan. Tapi sama halnya dengan kami, rombongan besar ini tak bisa melanjutkan perjalanan menuju lokasi karena papan-papan jembatan yang sudah dicopotin semua.
Sambil duduk-duduk, seorang anggota polisi bercerita. Para penjudi sabung ayam maupun pemilik tempat judinya, biasanya memang menaruh orang di jalan beberapa kilometer dari lokasi. Ini dilakukan agar jika ada ‘orang mencurigakan’ (polisi maksudnya) cepat bisa terdeteksi. Dengan arti lain, mata-mata ini memiliki peran penting untuk mencegah terjadinya penggrebekan oleh polisi.
Dari beberapa perbincangan dengan beberapa orang termasuk polisi, ada banyak factor kenapa judi sabung ayam sulit diberantas dan sulit untuk di-grebek. Pertama, lokasi sabung ayam biasanya di kawasan perbukitan yang memiliki medan berat, termasuk jalan yang menuju lokasi. Dengan begitu otomatis akan mempersulit polisi saat melakukan penggrebekan.
Factor kedua, adanya orang-orang (mata-mata) yang ditaruh di sepanjang jalan menuju lokasi judi sabung ayam. Seperti yang saya sebutkan, mata-mata ini sengaja di’berdayakan’ oleh para penjudi agar bisa mendeteksi sedini mungkin kedatangan polisi. Merekalah kemudian yang akan mengabarkan ke para penjudi jika ada polisi yang hendak masuk lokasi. Dengan begitu, ada cukup waktu bagi para penjudi untuk segera bubar dan melarikan diri.
Faktor ketiga, polisi nakal! Judi sabung ayam akan sulit digrebek, jika ada anggota polisi yang sudah membocorkan terlebih dahulu kepada para penjudi. Jika rencana penggrebekan sudah bocor, maka polisi yang datang ke lokasi tidak akan memperoleh hasil apapun.
Factor ke empat, setoran! Nah ini dia….. Judi sabung ayam akan sulit diberantas. Lokasi sabung ayam tersebut akan aman dari penggrebekan polisi jika para penjudinya selalu menyetor ke aparat kepolisian. Siapa saja yang menerima? Nah, no komen saya! Hehehe Tafsirkan sendiri!
Saya pikir sampai disini saja catatan saya. Ceritanya kagak usah diterusin. Panjang ceritanya termasuk saat kami kembali kehujanan di tengah hutan gelap gulita!Yang pasti kami pulang kembali ke kota Bangkalan sekitar jam 19.30 WIB. Catatan bagian kedua ini sekaligus bagian terakhir. Insyaallah setahun lagi tepat hari Pers Nasional 2013 saya tulis lagi catatan jurnalisme saya. (Mad Topek)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar