Sabtu, 04 Februari 2012

Sekolah Dihancurkan Orang Tak Dikenal, Diduga Karena Sengketa Lahan

Bumi Madura - Sebuah gedung sekolah di Sampang, Madura, rusak berat setelah dirusak orang tidak dikenal. Selain mengakibatkan kerusakan gedung, buku-buku pelajaran pun diobrak-abrik dan dibuang. Akibatnya, para siswa pun terpaksa belajar di rumah warga setempat.

Pengrusakan tersebut menimpa SDN Rahayu 2, Kecamatan Kedundung, Kabupaten Sampang, Madura yang dilakukan Jumat (03/02) dini hari. Tembok sekolah pun dirobohkan, hingga sekolah terancam ambruk. Tak hanya itu, meja dan kursi belajar siswa terlihat berantakan di dalam ruang kelas.
Bahkan, sebagian buku siswa dan kertas hasil ujian siswa juga dibuang di halaman sekolah. Bukan hanya para guru, siswa-siswi di sekolah ini pun terlihat syok mendapati sekolah dan peralatan belajar mereka dirusak orang tak dikenal ini. Sebagian siswa pun terlihat mencari buku-buku pelajaran mereka yang masih bisa dipakai.
Dari kabar yang beredar, pihak sekolah menduga kuat, pengrusakan ini dilakukan oleh warga yang selama ini mengklaim sebagai pemilik tanah yang kini ditempati bangunan sekolah. Karena seminggu sebelumnya, beberapa orang warga yang mengklaim sebagai pemilik tanah sempat mendatangi sekolah dan merusak beberapa bagian sekolah. Demikian dituturkan Eko, guru SDN Rahayu 2.
Akibat aksi pengrusakan ini, tentu saja proses belajar mengajar menjadi sangat terganggu. Bahkan, sebagian besar siswa dari 133 siswa di sekolah ini, tidak masuk sekolah akibat kejadian ini. Sementara siswa yang masih masuk sekolah, untuk sementara waktu melakukan kegiatan belajar mengajar dengan cara menumpang di rumah warga terdekat.


Kasus sengketa tanah yang ditempati bangunan sekolah (hampir semuanya bangunan sekolah negeri) hingga saat ini sering terjadi di 4 kabupaten di Madura (Bangkalan, Sampang, Pamekasan dan Sumenep). Ntah di wilayah lain di Indonesia. Mungkin sama. Ya, keberadaan bangunan sekolah negeri yang kemudian menjadi konflik tersebut tidak lepas dari historis pembangunannya yang rata-rata dibangun pada tahun 1960-an hingga 1980-an.

Saat itu, pemerintah setempat yang ingin mendirikan bangunan sekolah SD baru di berbagai pelosok sebagai upaya memberantas buta huruf, kesulitan memperoleh tanah. Namun masalah ini biasanya cepat teratasi karena warga setempat pasti ada yang merelakan tanahnya ditempati sekolah. Ada yang ikhlas di-hibahkan. Tapi ada juga yang sekedar dipinjamkan.

Nah, masalah kemudian muncul bagi status tanah yang hanya dipinjamkan. Ahli waris tanah tersebut (anak atau cucu si pemilik tanah) - lah yang lalu mempermasalahkan nya.  Setelah ditempati puluhan tahun, para ahli waris ini ingin meminta kembali tanah yang dulu dipinjamkan. Ada yang karena ingin ditempati sendiri atau ingin dijual saja. Tapi ada juga ahli waris yang tidak ingin mempermasalahkan dengan syarat: selama tanah yang dipinjam tersebut dipakai bangunan sekolah, si ahli waris harus direkrut sebagai tenaga harian lepas (honorer). Biasanya sebagai tenaga kebun sekolah. Jika syarat ini tidak dituruti, maka  mereka (ahli waris) akan memaksa tanah pinjaman ini untuk diminta kembali.

Kasus semacam ini masih banyak terjadi. Disinilah dibutuhkan peran pemerintah setempat agar segera menyelesaikan masalah ini. Entah dengan cara melakukan pembelian tanah tersebut atau ya sudah dipindah saja bangunan sekolah ke lokasi lain yang status tanahnya milik negara. yang juga jadi persoalan, seringkali dinas pendidikan setempat sebagai lembaga yang menaungi kurang tanggap atau malah kurang peduli. Akhirnya ya timbul berbagai persoalan. Seperti halnya kasus yang terjadi diatas. Kita sih tidak bisa sepenuhnya menyalahkan para ahli waris. Karena tanah itu memang hak mereka.

Atau mungkin ada cara lain menyelesaikan persoalan lain? Upaya penyelesaian ini semata-mata demi majunya pendidikan anak-anak di berbagai pelosok Madura. Kenapa? Karena rata-rata sengketa tanah sekolah ini memang terjadi di desa/wilayah pedalaman alias bukan di wilayah perkotaan. Semoga bisa diselesaikan dengan bijak. Amien. (Mad Topek)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar